PELANGGARAN
ETIKA BISNIS
1.
Teori
Etika
bisnis didefinisikan sebagai Pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam
ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau
tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia.
Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan
ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting.
Selama perusahaan
memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk masyarakat disamping itu
dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumberdaya
manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat
atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan tersebut. Bisnis
merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau
merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan
dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial,
termasuk juga aturan-aturan moral.
Menurut
Joel G. Siegel dan J.K. Shim fraud (kecurangan) adalah untuk merupakan tindakan
yang disengaja oleh perorangan atau kesatuan untuk menipu orang lain dan
menyebabkan kerugian. Khususnya terjadi (misrepresentation) penyajian yang
keliru untuk merusak, dengan maksud menahan data bahan yang diperlukan untuk
pelaksaanaan keputusan terdahulu
Jadi dapat
disimpulkan fraud (kecurangan) merupakan sesuatu yang disebabkan oleh keinginan
seseorang yang teraplikasi dalam bentuk perilakunya untuk melakukan suatu
tindakan yang menyalahi aturan.
Hubungan
antara etika bisnis dan fraud (kecurangan) bahwa segala sesuatu tindakan yang
menyalahi aturan dan dikategorikan sebagai pelanggaran etika (Irham Fahmi,
2013:157).
2.
Kasus / Artikel
Akhir-akhir ini makin
banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama
menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan
luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam
pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan
terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi
pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang
ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah
dari produk-produk lainnya.
Kasus mie instan yang mendapat
larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang
berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam
mie instan adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat).
Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan
pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis
produk mie instan dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket
terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari mie
instan.
Kasus mie instan kini mendapat
perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk mie instan itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi
IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus mie instan
ini bisa terjadi, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu
akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk mie instan.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi
kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam mie
instan yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat)
adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama.
Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk
produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang
adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus mie instan ini.
Kustantinah menjelaskan bahwa benar mie instan mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasan mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam mie instan masih dalam batas wajar dan aman untuk
dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas
ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan
1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan
unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan
sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang
merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk mie instan sudah
mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan
kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec.
Produk mie instan yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk
dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka
timbulah kasus mie instan ini.
3.
Analisis
:
Menurut pendapat saya pemilik perusahaan
mie instan ini harus mengetahui dan cermat dalam memproduksi mie dengan melihat
komposisi kandungan zat-zat yang ada dalam produk indomie tersebut. Agar tidak
menimbulkan masalah kesehatan dan keselamatan khususnya penyakit kanker bagi
konsumen yang mengkonsumsinya.
Tidak hanya untuk produk eksport saja,
tetapi produk indomie yang beredar didalam negeri harus diuji terlebih dahulu
komposisi kandungan zat-zat yang bernilai positif maupun bernilai negatif bagi
konsumen. Apabila produk indomie yang dipasarkan di dalam negeri sudah baik dan
layak dikonsumsi oleh konsumen barulah produk tersebut di pasarkan ke luar
negeri.
Referensi
:
http://squarepantsemalasari.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar