Senin, 11 November 2013

PELANGGARAN ETIKA BISNIS



PELANGGARAN ETIKA BISNIS

1.     Teori
Etika bisnis didefinisikan sebagai Pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting.
     Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk masyarakat disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumberdaya manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan tersebut. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral.
Menurut Joel G. Siegel dan J.K. Shim fraud (kecurangan) adalah untuk merupakan tindakan yang disengaja oleh perorangan atau kesatuan untuk menipu orang lain dan menyebabkan kerugian. Khususnya terjadi (misrepresentation) penyajian yang keliru untuk merusak, dengan maksud menahan data bahan yang diperlukan untuk pelaksaanaan keputusan terdahulu
Jadi dapat disimpulkan fraud (kecurangan) merupakan sesuatu yang disebabkan oleh keinginan seseorang yang teraplikasi dalam bentuk perilakunya untuk melakukan suatu tindakan yang menyalahi aturan.
Hubungan antara etika bisnis dan fraud (kecurangan) bahwa segala sesuatu tindakan yang menyalahi aturan dan dikategorikan sebagai pelanggaran etika (Irham Fahmi, 2013:157).

2.       Kasus / Artikel
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus mie instan yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam mie instan adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk mie instan dari peredaran.  Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari mie instan.
Kasus mie instan kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk mie instan itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus mie instan ini bisa terjadi, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk mie instan.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam mie instan yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus mie instan ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar mie instan mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasan mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam mie instan masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk mie instan sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk mie instan yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus mie instan ini.

3.      Analisis :
Menurut pendapat saya pemilik perusahaan mie instan ini harus mengetahui dan cermat dalam memproduksi mie dengan melihat komposisi kandungan zat-zat yang ada dalam produk indomie tersebut. Agar tidak menimbulkan masalah kesehatan dan keselamatan khususnya penyakit kanker bagi konsumen yang mengkonsumsinya.
Tidak hanya untuk produk eksport saja, tetapi produk indomie yang beredar didalam negeri harus diuji terlebih dahulu komposisi kandungan zat-zat yang bernilai positif maupun bernilai negatif bagi konsumen. Apabila produk indomie yang dipasarkan di dalam negeri sudah baik dan layak dikonsumsi oleh konsumen barulah produk tersebut di pasarkan ke luar negeri.

Referensi :
http://squarepantsemalasari.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar